SISTEMATIKA
KEUANGAN SYARIAH
1. KONSEP MEMELIHARA HARTA KEKAYAAN
Memelihara harta, bertujuan agar
harta yang dimiliki oleh manusia diperoleh dan digunakan sesuai dengan syariah
sehingga harta yang dimiliki halal dan sesuai dengan keinginan pemilik mutlak
dari harta kekayaan tersebut yaitu Allah swt.
1.1. ANJURAN BEKERJA ATAU BERNIAGA
Islam
menganjurkan manusia untuk bekerja atau berniaga, dan menghindari kegiatan
meminta-minta dalam mencari harta kekayaan. Manusia memerlukan harta kekayaan
sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk memenuhi
sebagian perintah Allah seperti infak, zakat, pergi haji, perang (jihad), dan
sebagainya.
“Apabila
telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah
karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS 62:10)
Harta yang
paling baik menurut Rasulullah, adalah yang diperoleh dari hasil kerja atau
perniagaan, sebagaimana diriwayatkan oleh hadis-hadis berikut:
Ketika
Rasulullah ditanya oleh Rafi bin Khudazi: Dari Malik bin Anas r.a “wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang
paling baik?” Rasulullah menjawab “pekerjaan orang dengan tanganya sendiri dari
jual beli yang mabrur”. (HR.Ahmad dan Al-Bazzar at Thabrani dari Ibnu Umar)
“Harta yang paling baik adalah harta yang diperoleh
oleh tangannya sendiri...” (HR. Bazzar At Thabrani)
“Sesungguhnya Allah suka kalau kita Dia melihat
HambaNya berusaha mencari barang dengan cara yang halal (HT.Ath-Thabrani
dan Ad-Dailami)
“Barang siapa membuka bagi dirinya satu pintu
meminta-minta (yakni membiasakan diri meminta-minta meski belum benar-benar
terpaksa) niscaya Allah akan membukakan baginya tujuh puluh pintu kemiskinan”. (HR. Bukhari
dan Muslim dari Abu Hurairah)
1.2. KONSEP KEPEMILIKAN
Harta yang baik
harus memenuhi dua kriteria, yaitu diperoleh dengan cara yang sah dan benar
(legal and fair), serta dipergunakan dengan dan untuk hal-hal yang baik di
jalan Allah swt. Allah swt adalah pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di
dunia ini (QS 57:2), sedangkan manusia adalah wakil (khalifah) Allah dimuka bumi ini yang diberi kekuasaan untuk
mengelolanya.
Definisi Kepemilikan
dalam syariat islam adalah kepemilikan terhadap sesuatu sesuai dengan aturan
hukum dimana seseorang memiliki wewenang untuk bertindak dari apa yang ia
miliki selama dalam jalur yang benar dan sesuai dengan hukum. Melihat makna
defenisi ini jelaslah bahwa kepemilikan dalam islam berbeda dengan apa yang ada
pada paham-paham lainnya. Seperti halnya aliran kapitalis yang memandang makna
kepemilikan sebagai kekuasaan seseorang yang tak terbatas terhadap sesuatu
tanpa ada pada orang lain. Inilah perbedaan yang mendasar antara konsep
kepemilikan pada islam dan yang paham lainnya yaitu harus berada pada jalur
koridor yang benar sebagaimana diperintahkan oleh Allah swt oleh.
1.2.1. FAKTOR PENYEBAB ADANYA KEPEMILIKAN
Disadari bahwa
kehidupan manusia tidaklah akan berjalan lancar dengan baik kecuali setelah
mendapatkan apa yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dari harta benda. Maka
dalam kehidupan, harta adalah sesuatu yang lazim dan wajib bagi semua manusia “tidaklah berjalan dengan baik kehidupan
tanpa keduanya yaitu dinar dan dirham”. Jika kehidupan manusia terikat oleh
harta,maka secara otomatis wajiblah baginya bersungguh-sungguh dan jujur dalam
mencapainya. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah swt melalui rasulNya.
Faktor penyebab adanya
kepemilikan dalam islam:
1. Tidak
Menggantungkan Hidup Kepada Orang Lain.
Yang dimaksudkan
dalam hal ini adalah tidak adanya ketergantungan materi dan mengaharap belas
kasih orang lain. Karena islam memandang hina mereka yang hanya mengantungkan
hidupnya kepada orang lain tanpa mau berusaha untuk memenuhi kehidupannya
sendiri. Rasulullah bersabda:
”bagimu untuk
tidak mengambil apa yang di tangan manusia”.
Dan melarang
kita untuk menengadahkan tangan kepada orang lain untuk
meminta-mintam.Tergambar dalam ucapannya:
“tangan yang diatas lebih baik dari tangan yang
dibawah”
si pemberi lebih baik dari peminta.
Diriwayatkan
bahwa Lukman a.s berkata kepada anaknya:”wahai
anakku jika engkau fakir merasa kekurangan maka minta tolonglah kepada tuhanmu
yang maha kuasa. Berdoa dan merendah kepadaNya. Mintalah kepadaNya karunia dan
anugerahNya. Maka sesungguhnya tidak ada yang memiliki selain Ia. Dan janganlah
engkau meminta kepada manusia. Dengannya kau terlihat rendah dihadapan
mereka,sedangkan kau tidak mendapatkan apa-apa”.
Hadist dan
nash-nash diatas menanamkan pada umat muslim jiwa yang mulia untuk tidak
meminta dari apa yang ada di tangan manusia kecuali dengan cara yang di
halalkan oleh islam. Dan mendorong mereka untuk mancari yang halal melalui
jalan yang telah digariskan oleh islam.
2. Semangat dan
merasa tenang dalam beribadah kepada Allah swt
Ini bisa dilihat
dari bagaimana dengannya seorang muslim bisa menjalankan kewajibannya kepada
Allah swt. yang membutuhkan kejernihan pikiran. Dan ini tidak akan tercapai
kecuali dengan memberikan kepada jiwa apa yang memenuhi kebutuhannya. begitu
juga seorang muslim dalam menjalankan kewajiban kepada tuhannya selain kesiapan
batin juga memerlukan harta materi. karena diantara kewajiban ada yang dalam
pelaksanaannya memerlukan harta. Seperti dalam kewajiban berzakat dan ibadah
haji kedua itu tidak diwajibkan kecuali kepada mereka yang mampu. Sudah jelas
seorang muslim tidak akan mampu melaksanakannya melainkan dengan bekerja yang
bisa menghasilkan materi.
Oleh karena itu
Ibnu Taimiah berkata bahwa: “keimanan
seorang muslim tidaklah sempurna kecuali ia mampu memenuhi semua kebutuhan
hidupnya”. Karena itu maka kekurangan harta materi merupakan kendala besar
bagi seorang muslim dalam mencapai derajat iman yang sempurna.
Dari ini bisa
disimpulkan bahwa bagi seorang muslim harta tidaklah melainkan sebatas wasilah
perantara guna mencapai tujuan-tujuan mulia. Bukanlah seperti apa yang disangka
oleh sebagian umat muslim. Bahwa islam adalah pengangguran dan meninggalkan
hal-hal yang bersifat duniawi dari harta dan kenikmatan lainnya dengan dalih
zuhud,agar lebih tenang dalam beribadah. Lalu kemudian mengasingkan diri dari
masyarakat guna mencapai derajat keimanan yang tinggi. Tidaklah seperti itu
tetapi islam mendorong dan menganjurkan umatnya untuk slalu berusaha dalam
mencari harta guna memenuhi kebutuhan hidupnya dan selanjutnya ia bisa beribadah
kepada Allah swt dengan tenang dan penuh kedamaian tanpa terikat oleh siapapun.
3. Menolong
sesama
Jika kita
cermati kehidupan para sahabat Rasulullah.saw,mereka bersemangat dalam mencari
harta guna memenuhi kehidupan dan mengeratkan tali silaturrahmi diantara mereka
melalui sodaqoh. Sebagaimana diriwayatkan dari Abdurrahman Bin Auf. Beliau
berkata: “dengan harta aku menyambung
silaturrahmi dan mendekatkan diri kepada Allah swt”. begitu juga Zubair
Ibnu Awam berkata: “sesungguhnya harta
adalah darinya sumber kebaikan,silaturrahmi,nafaqah di jalan Allah swt,dan
kebaikan akhlaq. Selain itu pula padanya kemuliaan dunia dan kelezatannya”.
1.2.2. JENIS KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
Dalam
masalah kepemilikan, individu, masyarakat dan Negara sebagai subyek ekonomi mempunyai
hak-hak kepemilikan tersendiri yang ditetapkan berdasarkan ketentuan syariah.
Konsep kepemilikan menjadi sangat jelas dipaparkan oleh Taqiyuddin an-Nabhani
dalam kitabnya sistem ekonomi islam . Dalam kitab ini dijelaskan bahwa Islam
membagi konsep kepemilikan menjadi : kepemilikan individu (private property);
kepemilikan public (collective property); dan kepemilikan Negara (state
property) .
a. Kepemilikan
Individu(private property)
Kepemilikan individu adalah
hak individu yang diakui syariah dimana dengan hak tersebut seseorang dapat
memiliki kekayaan yang bergerak maupun tidak bergerak. Hak ini dilindungi dan
dibatasi oleh hukum syariah dan ada kontrol. Selain itu seseorang akhirnya
dapat memiliki otoritas untuk mengelola kekayaan yang dimilikinya.Hukum syariah
menetapkan pula cara-cara atau sebab-sebab terjadinya kepemilikan pada
seseorang, yaitu dengan:
1) Bekerja
2) Pewarisan
3) Kebutuhan akan harta untuk
menyambung hidup
4) Pemberian Negara
5) Harta yang diperoleh tanpa usaha
apapun
Hukum
syariah juga membatasi pemanfaatan harta dalam hal: menghambur-hamburkan harta
di jalan yang terlarang seperti melakukan aktifitas suap, memberikan
riba/bunga, membeli barang dan jasa yang diharamkan seperti miras/pelacuran.
Melarang transaksi dengan cara: penipuan, pemalsuan, mencuri timbangan/ ukuran.
Dan juga melarang aktifitas yang dapat merugikan orang lain seperti menimbun
barang untuk spekulasi. Islam juga menuntunkan prioritas pemanfaatan harta
milik individu, bahwa pertama-tama harta harus dimanfaatkan untuk perkara yang
wajib seperti untuk member nafkah keluarga, membayar zakat, menunaikan haji,
membayar utang dan lain-lain. Berikutnya dimanfaatkan untuk pembelanjaan yang
disunahkan seperti sedekah, hadiah. Baru kemudian yang mubah. Aturan Islam juga
berbicara tentang bagaimana sesorang akan mengembangkan harta. Antara lain
dengan jalan yang sah seperti jual beli, kerja sama usaha (syarikah) yang
Islami dalam bidang pertanian, perindustrian maupun perdagangan dan jasa. Dan
juga larangan pengembangan harta seperti memungut riba, judi, dan investasi di
bidang yang haram seperti membuka rumah bordil, diskotik dan lain-lain.
b. Kepemilikan Publik
(collective property)
Kepemilikan publik adalah
seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum
muslim sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum muslim.
Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun
terlarang memilikinya secara pribadi. Ada tiga jenis kepemilikan publik :
1.
Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh warga Negara
untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energy,
pembangkit listrik dll.
2.
Kekayaan yang aslinya terlarang bagi individu untuk
memilikinya seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal,
lapangan, masjid dll.
3.
Barang tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya
melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak
bumi), atau gas (seperti gas alam).
Hak
pengelolaan kepemilikan umum (milkiyah amah) ada pada masyarakat secara umum
yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Negara karena Negara adalah wakil
rakyat. Negara harus mengelola harta milik umum itu secara professional dan
efisien. Meskipun Negara memiliki hak untuk mengelola milik umum, ia tidak
boleh memberikan hak tersebut kepada individu tertentu. Milik umum harus
memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat luas.
Pemanfaatan
kepemilikan umum dilakukan dengan dua cara yaitu: pertama: jika memungkinkan,
individu dapat mengelolanya maka individu tersebut hanya diperkenankan sekedar
mengambil manfaat barang-barang itu dan bukan memilikinya. Missal memanfaatkan
secara langsung milik umum seperti air, jalan umum dll. Kedua, jika tidak mudah
bagi individu untuk mengambil manfaat secara langsung seperti gas dan minyak
bumi, maka Negara harus memproduksinya sebagai wakil dari masyarakat untuk
kemudian hasilnya diberikan secara cuma-cuma kepada seluruh rakyat, atau jika
dijual hasilnya dimasukkan ke bait al-mal (kas Negara) untuk kepentingan masyarakat.
c. Kepemilikan Negara
(state property)
Milik Negara adalah harta
yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya menjadi wewenang
khalifah semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya. Sebagai pihak yang
memiliki wewenang, ia bisa saja mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim,
sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya
kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Termasuk
dalam hal ini adalah padang pasir, gunung, pantai, tanah mati yang tidak
dihidupkan secara individual, semua tanah ditempat futuhat yang tidak bertuan
yang ditetapkan oleh khalifah/kepala Negara menjadi milik bait al-mal dan
setiap bangunan yang dibangun oleh Negara dan dananya berasal dari bait al-mal.
Meskipun harta milik umum dan milik Negara pengelolaannya dilakukan Negara,
keduanya berbeda. Harta milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan Negara
kepada siapapun, meskipun Negara dapat membolehkan orang-orang untuk mengambil
manfaatnya. Adapun terhadap milik Negara, khalifah berhak untuk memberikan
harta tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakannya.
2.
PENGGUNAAN DAN PENDISTRIBUSIAN HARTA
Islam mengatur
setiap aspek kehidupan ekonomi penuh dengan pertimbangan moral, sebagaimana
firman Allah sebagai berikut:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah
kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana
Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di
(muka) bumi. “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat
kerusakan”.
(QS 28:77)
Dari ayat di
atas dapat kita simpulkan, dalam pengunaan harta, manusia tidak boleh mengabaikan
kebutuhannya di dunia, namun disis lain juga harus cerdas dalam mengunakan
hartanya untuk mencari pahala akhirat.
2.1 Ketentuan syariah berkaitan dengan penggunaan
harta, antara lain:
1. Tidak boros
dan tidak kikir
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di
Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.(QS 7:31)
2. Memberikan
infak dan shadaqah
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh)
orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan
sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji.
Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha
Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui”. (QS 2:261)
3. Membayar
zakat sesuai ketentuan
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan
zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka.
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah
Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS 9:103)
4. Memberi
pinjaman tanpa bunga (qardhul hasan)
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu
memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya
kamu mendapat keberuntungan”.
5. Meringankan
kesulitan orang berutang
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam
kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan
(sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (QS 2:280)
2.2. Beberapa Pandangan Alquran tentang Distribusi
Harta
Banyak ayat yang secara tersurat menyatakan kata al-mâl,
kiranya kita dapat menarik beberapa benang merah yang dapat kita nilai sebagai
pandangan Alquran yang harus mendasari segenap aktivitas pendistribusian harta.
Pandangan:
Harta adalah Milik
Allah (al-mâl mâl Allâh)
Dalam Alquran hanya
sekali kata al-mâl yang secara tegas dinisbahkan kepada Allah (mâl
Allâh), yaitu dalam Qs. al-Nûr, 24: 33:
“Dan berikanlah kepada
mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kamu).”
Pandangan
bahwa harta adalah milik Allah akan melahirkan sejumlah prinsip yang secara
langsung ada kaitannya dengan pemanfaatan kekayaan dan semangat sosialisme.
Prinsip-prinsip itu di antaranya:
a)
Benda-benda ekonomi adalah milik
Tuhan (dengan sendirinya), yang kemudian dititipkan kepada manusia; kekayaan
sebagai amanat (Qs. Al-Anfâl, 8: 28, al-Taghâbun, 64: 15, al-Nisâ, 4: 6).
b)
Penerima amanat harus memperlakukan
benda-benda itu sesuai dengan “kemauan” Sang Pemberi amanat (Tuhan), yaitu
hendaknya diinfakkan menurut jalan Allah (Qs. Al-Nisâ, 4: 95, al-Anfâl, 8: 72,
al-Tawbah, 9: 88, 11, 20, 44).
c)
Harta yang halal itu setiap tahun
harus dibersihkan dengan zakat (Qs. Al-Tawbah, 9: 103, al-Lail, 92: 18).
d)
Penerima amanat harta tidak berhak
menggunakan (untuk diri sendiri) harta itu semaunya, melainkan harus dengan
timbang rasa begitu rupa sehingga tidak menyinggung rasa keadilan umum, tidak
kikir dan juga tidak boros, melainkan berada di antara keduanya (Qs. Al-Furqân,
25: 67, al-Isrâ, 17: 28, al-Lail, 92: 18).
e)
Orang miskin mempunyai hak yang
pasti dalam harta orang-orang kaya (Qs. Al-Ma’ârij, 70: 24, al-Dzâriyât, 51:
19).
f)
Kejahatan tertinggi terhadap
kemanusiaan ialah menumpukkan kekayaan pribadi tanpa memberinya fungsi sosial
(Qs. Al-Humazah, 104: 2-3, al-Hasyr, 59: 7, al-Tawbah, 9: 34).
g)
Manusia tidak akan memperoleh
kebajikan sebelum mendistribusikan harta yang dicintainya (Qs. Âli ‘Imrân, 3: 92).
2.3. Perintah dan Anjuran Menyangkut Distribusi
Kekayaan
a) Perintah
Perintah Alquran menyangkut distribusi harta di antaranya
adalah mengeluarkan zakat. Firman-Nya dalam Qs. al-Tawbah, 9: 103: “Ambillah
zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan
mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka…”
b) Anjuran
Adapun anjuran Alquran menyangkut distribusi kekayaan,
barangkali Qs. al-Baqarah, 2: 261-262 dapat kita jadikan sampel yang mewakili
ayat-ayat lain yang mempunyai kandungan makna yang serupa dengannya. Ayat termaksud
adalah:
“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada
tiap-tipa butir seratus biji, Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia
kehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui (261). Orang-orang yang
menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang
dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak
menyakiti perasaan si penerima, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya.
Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati
(262).
2.4. Larangan-larangan Menyangkut Pemanfaatan Harta
Secara umum,
larangan-larangan menyangkut penggunaan harta mencakup empat aspek:
a)
Pemilik harta tidak diperkenankan untuk mempergunakan
atau menginvestasikannya yang akan mengakibatkan kesulitan, gangguan, dan
penganiayaan serta ketidakadilan pihak lain. Misalnya, investasi yang akan
membawa pencemaran lingkungan atau meningkatkan peluang kriminalitas (8: 36).
b)
Dalam pemanfataan al-mâl, segala bentuk transaksi
dengan pendekatan riba, monopoli, dan penipuan dikecam keras (4: 161; 30: 39;
2: 278-279; 59: 7-8).
c)
Kebijaksanaan pemilik al-mâl harus jauh dari penimbunan
atau kekikiran atau pemborosan (9: 34; 25: 67). Kedua cara ini menimbulkan
dampak negatif terhadap roda ekonomi. Penimbunan harta mengantar kepada
stagnasi yang menghambat lajunya perkembangan ekonomi, sebaliknya pembelanjaan
secara semena-mena berarti penghamburan sumber kekayaan yang dapat dinikmati
oleh masyarakat.
d)
Larangan penggunaan al-mâl untuk mempengaruhi penguasa
guna mencapai keuntungan material (2: 188). Larangan ini mencakup sogok
menyogok, kolusi antara pemegang harta dan penguasa yang merugikan masyarakat
banyak.
2.5. PEROLEHAN HARTA
Memperoleh harta adalah aktivitas
ekonomi yang masuk dalam kategori ibadah muamalah. Kaidah fiqih dari muamalah
adalah semua halal dan boleh dilakukan kecuali yang haram/dilarang dalam
Al-Qur’an dan As-Sunah.
“Dialah (Allah) yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu…”(Q.S
45:13)
”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di
bumi untukmu semua (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya, dalam hal yang
demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi
orang-orang yang berfikir.” (QS 45:13)
”Yang halal ialah apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitabNya, dan
apa yang haram ialah apa yang diharamkan Allah di dalam kitabNya; sedangkan apa
yang didiamkan oleh Nya berarti dimaafkan (diperkenakan) untukmu.” (HR.
At-Tirmidzi dan Ibnu Majab)
Dapat disimpulkan bahwa
hukum dasar muamalah adalah boleh, karena tidak mungkin Allah menciptakan
segala sesuatu dan menundukkannya bagi manusia kalau akhirnya semua itu
diharamkan atau dilarang.
3. AKAD / KONTRAK / TRANSAKSI
3.1. Akad
Akad dari segi ada atau
tidaknya kompensasi :
1.
Akad tabarru’
(gratuitous contract), yaitu segala macam perjanjian yang menyangkut
transaksi nir-laba (not for profit transaction). Contoh akad tabarru’
adalah qard, rahn, hiwalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqaf, shadaqah, hadiah.
2.
Akad Tijarah/muawadah
(compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut
transaksi untuk laba (for profit transaction). Contoh akad tijarah
adalah akad-akad investasi, jual-beli, sewa-menyewa.
3.
Akad yang berfungsi sebagai jaminan atas hutang salah
satu dari pihak yang menjalankan suatu akad. Contoh : Pegadaian, Jaminan, dan
Kesaksian.
Akad dilihat dari
konsekuensinya :
1.
Akad yang mengikat kedua belah pihak
Contoh :
akad jual beli, sewa menyewa
2.
Akad yang mengikat salah satu pihak
Contoh :
akad pegadaian
3.
Akad yang tidak mengikat kedua belah pihak
Contoh :
akad penitipan
3.2. Rukun dan Syarat Akad
Rukun Akad :
1.
Penjual dan Pembeli
2.
Uang dan (atau) barang
3.
Sighah akad jual beli : Sighah qauliyyah dan Sighah
fi’liyyah
Syarat sahnya Akad :
1.
Atas dasar suka sama suka antara penjual dan pembeli
2.
Akad jual beli dilakukan oleh orang yang dibenarkan
untuk melakukanya. Dengan syarat : Merdeka, Telah Baligh, Berakal Sehat, Rasyid
3.
Yang melakukan jual beli adalah pemilik barang atau
wakilnya
4.
Barang yang diperjual belikan kegunaanya halal
5.
Barang yang diperjual belikan dapat diserah terimakan
6.
Barang yang telah diperjual belikan telah diketahui
oleh kedua belah pihak diwaktu akad
7.
Harga barang ditentukan dengan jelas diwaktu akad
3.3. Konsep Jual-Beli dalam Islam
Ø Definisi Jual-Beli
Proses
tukar menukar harta, barang maupun sesuatu manfaat/jasa yang halal ditukar
dengan sesuatu yang serupa denganya untuk masa waktu yang tidak terbatas,
dengan cara yang dibenarkan.
Ø Hukum Jual-Beli
1.
Sah : apabila terpenuhi syarat dan rukunya
2.
Fasik : apabila tidak terpenuhi salah satu syarat atau
rukunya
3.
Bathil : apabila tidak terpenuhi syarat dan rukunya
3.4. KHIYAR
Diantara kesempurnaan syariat islam dalam hal perniagaan
ialah adanya KHIYAR bagi penjual dan pembeli untuk menentukan pilihanya, apakah
ia akan melangsungkan akad tersebut atau membatalkanya dan ini adalah hak kedua
belah pihak pelaksana akad tersebut, sehingga akad terjalin atas dasar suka
sama suka tanpa ada kepaksaan.
Macam-macam KHIYAR :
1.
Khiyar Majelis
2.
Khiyar Persyaratan
3.
Khiyar aib/cacat
4.
Khiyar pemalsuan
5.
Khiyar Penipuan Harga
4. TRANSAKSI YANG DILARANG
Transaksi yang dilarang
adalah sebagai berikut:
1.
Semua aktivitas bisnis terkait dengan barang dan jasa
yang diharamkan Allah
Aktivitas
investasi dan perdagangan atau semua transaksi yang melibatkan barang dan jasa
yang diharamkan Allah seperti babi, khamar atau minuman yang memabukkan,
narkoba, dan sebagainya.
”Sesungguhnya
Allah mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang
disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah, tetapi barang siapa terpaksa
(memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka
Allah sungguh Maha Pengampun, dan Maha Penyayang.” (QS 16: 15)
”Sesungguhnya
Allah apabila mengharamkan sesuatu juga mengharamkan harganya.” (HR. Ahmad dan
Abu Dawud)
2.
Riba
Larangan
riba sebenarnya tidak hanya berlaku untuk agama Islam, melainkan juga
diharamkan oleh seluruh agama samawi selain Islam. Yahudi melarang pengambilan
bunga (riba). Baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undand-undang
Talmud. Dan dalam kalangan Kristiani dalam Kitab Perjanjian Baru dalam ayat
Lukas 6:34-35 merupakan ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga (riba).
4 (empat)
Tahap Larangan riba :
Tahap 1:
QS 30: 39
Ayat periode Makkah ini, manusia
diberi peringatan bahwa pada hakekatnya riba tidak menambah kebaikan disisi
Allah, belum berupa larangan yang keras.
Tahap 2: QS 4:161
Ayat periode Madinah ini memberikan
pelajaran kepada kita mengenai perjalanan hidup orang yahudi yang melanggar
larangan Allah berupa riba kemudian diberi siksa yang pedih.
Tahap 3: QS 3: 130
Walaupun pelarangan masih terbatas
pada riba yang berlipat ganda, ayat di atas memberikan pelajaran kepada kita tentang
pengharaman riba secara lebih jelas.
Tahap 4: QS 2: 278-280
Ayat di atas merupakan tahapan
terakhir riba yaitu ketetapan yang menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa
semua praktek riba itu dilarang (haram), tidak peduli pada besar kecilnya
tambahan yang diberikan karena Allah hanya membolehkan pengembalian sebesar pokoknya
saja.
3.
Penipuan
Penipuan
terjadi apabila salah satu pihak tidak mengetahui pihak lain dan dapat terjadi
di dalam empat hal, yakni dalam kuantitas, kualitas, harga dan waktu
penyerahan.”Dan janganlah kamu campur adukan kebenaran dan kebathilan, dan
(janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedang kamu mengetahui.” (QS 2:42)
4.
Perjudian
Transaksi
penjudian adalah teransaksi yang melibatkan dua pihak atau lebih, di mana
mereka menyerahkan uang/harta kekayaan lainnya, kemudian mengadakan permainan
tertentu, baik dengan kartu, adu ketangkasan, atau media lainnya.”Wahai
orang-orang yang beriman, sesunguhnya minuman keras, berjudi, berkorban (untuk
berhala) dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan
termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu
beruntung. (QS 5:90)
5.
Gharar/transaksi yang mengandung ketidakpastian
Gharar
terjadi terdapat incomplete information, sehingga ada ketidak pastian antara
duabelah pihak yang bertransaksi.”Bagaimana pendapatmu jika Allah mencegah biji
untuk menjadi buah, sedang salah seorang dari kamu menghalalkan (mengambil)
harta saudarannya?” (HR. Bukhari)
6.
Ikhtikar/penimbunan barang
Ikhtikar
dilarang karena dapat merugikan orang lain dengan melangkannya/sulit didapat
dan harganya yang tinggi. Dengan ikhtikar orang dapat memperoleh keuntungan
yang besar dibawah penderitaan orang lain.”Tidak menimbun barang kecuali orang
yang berdosa”. (HR. Muslim, Turmudzi dan Abu Dawud)
7.
Monopoli
Alasan
larangan monopoli sama dengan larangan penimbunan barang (ihtikar), walaupun
seorang monopolis tidak selalu melakukan penimbunan barang. Monopoli biasanya
dilakukan dengan membuat entry barrier, untuk menghambat produsen atau penjual
masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar dan dapat menghasilkan
keuntungan yang tinggi.”Wahai Rasulullah saw, harga-harga naik, tentukanlah
harga untuk kami. Rasulullah lalu menjawab: Allah yang sesungguhnya penentu
harga, penahan, pembentang dan pemberi rizeki. Aku berharap agar bertemu dengan
Allah, tak ada seorangpun yang meminta padaku tentang adanya kezaliman dalam
urusan darah dan harta.” (HR. Ashabus sunan)
8.
Bai’an najsy/rekayasa permintaan
An-Najsy
termasuk dalam kategori penipuan (tadlis), karena merekayasa permintaan, di
mana satu pihak berpura-pura mengajukan penawaran dengan harga yang tinggi,
agar calon pembeli tertari dan membeli barang tersebut dengan harga yang
tinggi.”Janganlah kamu sekalian melakukan penawaran barang tanpa maksud untuk
membeli.” (HR. Tirmidzi)
9.
Suap
Suap
dilarang karena suap dapat merusak sistem yang ada dalam masyarakat, sehingga
menimbulkan ketidak adilan sosial dan permasalahan perlakuan. Pihak yang
membayar suap pasti akan diuntungkan dibandingkan yang tidak membayar.
”... dan
janganlah kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim ...” (QS 2:188)
10. Ta’alluq/penjual
bersyarat
Ta’alluq
terjadi apabila ada dua akad saling dikaidkan di mana berlakunya akad pertama
tergantung pada akad kedua, sehingga dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya
rukun (suatu yang harus ada dalam akad) yaitu objek akad.
11. Bai
al inah/pembelian kembali oleh penjual dari pihak pembeli
Misalnya,
A menjual secara kredit pada B kemudian A membeli kembali barang yang sama dari
B secara tunai. Dari contoh ini, kita lihat ada dua pihak yang seolah-olah
melakukan jual beli, namun tujuannya bukan untuk mendapatkan barang melainkan A
mengharapkan untuk mendapatkan uang tunai sedangkan B mengharapkan kelebihan
pembayaran.
12. Jual
beli dengan cara talaqqi al- rukban
Jual beli
dengan cara mencegat atau menjumpai pihak penghasil atau pembawa barang
perniagaan dan membelinya, di mana pihak penjual tidak mengetahui harga pasar
atas barang yang dibawanya sementara pihak pembeli mengharapkan keuntungan yang
berlipat dengan memanfaatkan ketidak tahuan mereka."Janganlah kamu
mencegat kafilah/rombongan yang membawa dagangan di jalan, siapa yang melakukan
itu dan membeli darinya, maka jika pemilik barang tersebut tiba di pasar
(mengetahui harga), ia boleh berkhiar.” (HR. Muslim)
5. RIBA DAN JENIS-JENIS RIBA
Secara garis besar riba
dikelompokkan menjadi dua, yaitu
1.
riba hutang-piutang (duyun)
2.
riba jual-beli (buyu’)
1. riba hutang-piutang (duyun)
·
Riba Qardh
Suatu
manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang
berhutang (muqtaridh).
·
Riba
Jahiliyyah
Hutang
dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya
pada waktu yang ditetapkan
2. riba jual-beli (buyu’)
·
Riba Fadhl
Pertukaran
antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang
yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
·
Riba
Nasi’ahAd
Penangguhan
penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis
barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan,
perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan
kemudian.
6. PRINSIP SISTEM KEUANGAN SYARIAH
Prinsip-prinsip
sistem keunagan Islam sebagaimana diatur melalui Al-Qur’an dan As-Sunah adalah
sebagai berikut:
1.
Pelarangan riba. Riba hanya
menguntungkan para pemberi pinjaman/pemilik harta, sedangkan yang merugikan
peminjam bahkan mempersulit si peminjam.
2.
Pemberian risiko. Hal ini
konsekuensi logis dari pelanggaran riba yang menetapkan hasil bagi pemberi
modal di muka. Sedang melalui pembagian risiko maka pembagian hasil akan
dilakukan di belakang yang besarnya tergantung dari hasil yang diperoleh. Hal
ini juga membuat kedua belah pihak akan saling membantu untuk
bersama-samamemperoleh laba, selain lebih mencerminkan keadilan.
3.
Tidak menganggap uang sebagai modal
pontensial. Sistem keungan Islam memandang uang boleh dianggap sebagai modal
kalau digunakan bersamaan dengan sumber daya yang lain untuk memperoleh laba.
4.
Larangan melakukan kegiatan
spekulatif. Hal ini sama dengan pelangaran untuk transaksi yang memiliki
tingkat ketidak pastian yang sangat tinggi, judi dan transaksi yang memiliki
resiko yang sangat besar.
5.
Kesucian kontrak. Islam menilai
perjanjian sebagai suatu yang tinggi nilainya sehingga seluruh kewajiban dan
pengungkapan yang terkait dengan kontrak harus dilakukan.
6.
Aktivitas usaha harus sesuai
syariah. Seluruh kegiatan usaha tersebut haruslah merupakan kegiatan yang
diperbolehkan menurut syariah.
Jadi,
prinsip keuangan syariah mengacu kepada prinsip rela sama rela (antaraddim
munkum), tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi (la tazhlimuna wa la
tuzhlamun), hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi al dhaman), dan
untung bersama risiko (al ghunmu bi al ghurni).
7. INSTRUMEN KEUANGAN SYARIAH
Instrumen
keuangan syariah dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.
Akad investasi yang merupakan jenis
akad tijarah dengan bentuk uncertainty contract. Kelompok akad ini adalah
sebagai berikut:
a)
Mudharabah, yaitu bentuk kerja sama
antara dua pihak atau lebih, di mana pihak pemilik modal (shahibul maal)
mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) untuk melakukan
kegiatan usaha dengan nisbah bagi hasil atas keuntungan yang diperoleh menurut
kesepakatan di muka, sedang apabila terjadi kerugian hanya ditanggung pemilik
dana sepanjang tidak ada unsur kesengajaan atau kelalain oleh mudharib.
b)
Musyarakah adalah akad kerja sama
yang terjadi antara pemilik modal untuk mengabungkan modal dan melakukan usaha
secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah bagi hasil sesuai dengan
kesepakatan, sedang kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan
kontribusi modal.
c)
Sukuk (obligasi syariah), merupakan
surat utang yang sesuai dengan prinsip syariah.
d)
Saham syariah produknya harus sesuai
dengan syariah.
2.
Akad jual beli/sewa menyewa yang
merupakan jenis akat tijarah dengan bentuk certainty contract. Kelompok akad
ini adalah sebagai berikut:
a)
Murabahah adalah transaksi penjualan
barang dengan biaya perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh
penjual dan pembeli.
b)
Salam adalah transaksi jual beli di
mana barang yang dijual belikan belum ada.
c)
Istishna’ memiliki sistem yang mirip
dengan salam, namun dalam istishna’ pembayaran dapat dolakukan di muka cicilan
dalam beberapa kali (termin) atau ditangguhkan dalam jangka waktu tertentu.
d)
Ijarah adalah akad sewa menyewa
antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapakan manfaat atas objek sewa
yang disewakan.
3.
Akad lainnya meliputi:
a)
Sharf adalah perjanjian jual beli
suatu valuta dengan valuta lainnya.
b)
Wadiah adalah akad penitipan dari
pihak yang mempunyai uang/barang kepada pihak yang menima titipan dengan
catatan kapan pun titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan
kembali uang/barang titipan tersebut.
c)
Qardhul Hasan adalah pinjaman yang
mempersyaratkan adanya imbalan, waktu pengambilan pinjaman ditetapkan bersama
antara pemberi dan penerima pinjaman.
d)
Al-Wakalah adalah jangka pemberian
kuasa dari satu pihak kepihak yang lain.
e)
Kaflah adalah perjanjian pemberian
jaminan atau penanggungan atas pembayaran utang atas suatu pihak atau pihak
lain.
f)
Hiwalah adalah pengalian utang atau
piutang dari pihak pertama (al-muhil) kepada pihak lain (al-muhal ’alaih) atas
dasar saling mempercayai.
g)
Rahn merupakan sebuah perjanjian
pinjaman dengan pinjaman aset.
Daftar Pustaka dan
Sumber Kajian :
1.
Sri
Nurhayati dan Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 2. (Jakarta:
Salemba Empat. 2008). hal. 66
2.
Ismail
Nawawi. Ekonomi Islam. (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara. 2009). hal. 108
3.
Sofian
Syafri Harahap. Akuntansi Islam. (Jakarta: Bumi Aksara. 2001), hal. 121
4.
Muhammad
Syafi’i Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. (Jakarta: Gemi
Insani. 2001),hal.43-45
5.
Al-Misri,
Rafiq Yunus. Usul al-Iqtishad al-Islami. Beirut: Dar al-Qalami, 1999.
6.
An-Nabhani,
Taqiyuddin. Sistem Ekonomi Islam. Bogor: al-Azhar Press, 2009.
7.
Ahmad
Mushtafa al-Maragha, Tafsir al-Maraghi, Dar al-Fikr: Kairo, tt.
8.
Dr.
Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan:
Bandung, cet. IV 1998.
9.
Syarhul
Buyu’ hal. 124
10.
Fatawa
Al-Lajnah Ad-Da`imah juz 13 14 dan 15
11.
Hasyiyah
As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa`i
12.
As-Sunnah
karya Al-Marwazi
Nama saya Dewi Rumapea, saya dari Indonesia, tolong dengarkan, beberapa pemberi pinjaman di sini tidak bersedia untuk membantu Anda, semua yang mereka inginkan adalah untuk merobek Anda uang Anda sulit diperoleh, hal yang paling penting adalah menerapkan untuk perusahaan yang sah.. Suami saya dan saya, mencari pinjaman dari kreditur yang berbeda online tapi pada akhirnya, kami ditipu dan merobek uang kita tanpa mendapatkan pinjaman kami dari perusahaan-perusahaan pinjaman yang berbeda secara.
BalasHapusKami bahkan meminjam uang untuk membayar pemberi pinjaman ini online tapi pada akhirnya, kita punya apa-apa.
Suami saya dan saya berada di utang, dan kami tidak punya satu untuk lari ke bantuan, bisnis keluarga kami hancur dan kami di mana tidak bisa mendapatkan uang untuk memenuhi biaya sehari-hari sampai kami diperkenalkan kepada Ibu Glory yang membantu kami dengan menawarkan kita jumlah pinjaman tanpa jaminan dari 500 juta tanpa agunan.
Untuk informasi lebih lanjut tentang bagaimana untuk mencapai Ibu. Glory atau mengikuti prosedur pinjamannya, hubungi saya melalui email saya: dewiputeri9@gmail.com
Atau Anda dapat mengirim email ke Ibu Glory ke: gloryloanfirm@gmail.com