Senin, 18 Juni 2012

SISTEMATIKA KEUANGAN SYARIAH


SISTEMATIKA KEUANGAN SYARIAH

1. KONSEP MEMELIHARA HARTA KEKAYAAN
            Memelihara harta, bertujuan agar harta yang dimiliki oleh manusia diperoleh dan digunakan sesuai dengan syariah sehingga harta yang dimiliki halal dan sesuai dengan keinginan pemilik mutlak dari harta kekayaan tersebut yaitu Allah swt.
1.1. ANJURAN BEKERJA ATAU BERNIAGA
Islam menganjurkan manusia untuk bekerja atau berniaga, dan menghindari kegiatan meminta-minta dalam mencari harta kekayaan. Manusia memerlukan harta kekayaan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari termasuk memenuhi sebagian perintah Allah seperti infak, zakat, pergi haji, perang (jihad), dan sebagainya.
 “Apabila telah ditunaikan shalat, Maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung”. (QS 62:10)
Harta yang paling baik menurut Rasulullah, adalah yang diperoleh dari hasil kerja atau perniagaan, sebagaimana diriwayatkan oleh hadis-hadis berikut:
Ketika Rasulullah ditanya oleh Rafi bin Khudazi: Dari Malik bin Anas r.a “wahai Rasulullah, pekerjaan apakah yang paling baik?” Rasulullah menjawab “pekerjaan orang dengan tanganya sendiri dari jual beli yang mabrur”. (HR.Ahmad dan Al-Bazzar at Thabrani dari Ibnu Umar)
“Harta yang paling baik adalah harta yang diperoleh oleh tangannya sendiri...” (HR. Bazzar At Thabrani)
“Sesungguhnya Allah suka kalau kita Dia melihat HambaNya berusaha mencari barang dengan cara yang halal (HT.Ath-Thabrani dan Ad-Dailami)
“Barang siapa membuka bagi dirinya satu pintu meminta-minta (yakni membiasakan diri meminta-minta meski belum benar-benar terpaksa) niscaya Allah akan membukakan baginya tujuh puluh pintu kemiskinan”. (HR. Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)
1.2. KONSEP KEPEMILIKAN
Harta yang baik harus memenuhi dua kriteria, yaitu diperoleh dengan cara yang sah dan benar (legal and fair), serta dipergunakan dengan dan untuk hal-hal yang baik di jalan Allah swt. Allah swt adalah pemilik mutlak segala sesuatu yang ada di dunia ini (QS 57:2), sedangkan manusia adalah wakil (khalifah) Allah dimuka bumi ini yang diberi kekuasaan untuk mengelolanya.
Definisi Kepemilikan dalam syariat islam adalah kepemilikan terhadap sesuatu sesuai dengan aturan hukum dimana seseorang memiliki wewenang untuk bertindak dari apa yang ia miliki selama dalam jalur yang benar dan sesuai dengan hukum. Melihat makna defenisi ini jelaslah bahwa kepemilikan dalam islam berbeda dengan apa yang ada pada paham-paham lainnya. Seperti halnya aliran kapitalis yang memandang makna kepemilikan sebagai kekuasaan seseorang yang tak terbatas terhadap sesuatu tanpa ada pada orang lain. Inilah perbedaan yang mendasar antara konsep kepemilikan pada islam dan yang paham lainnya yaitu harus berada pada jalur koridor yang benar sebagaimana diperintahkan oleh Allah swt oleh. 
1.2.1. FAKTOR PENYEBAB ADANYA KEPEMILIKAN
Disadari bahwa kehidupan manusia tidaklah akan berjalan lancar dengan baik kecuali setelah mendapatkan apa yang bisa mencukupi kebutuhan hidupnya dari harta benda. Maka dalam kehidupan, harta adalah sesuatu yang lazim dan wajib bagi semua manusia “tidaklah berjalan dengan baik kehidupan tanpa keduanya yaitu dinar dan dirham”. Jika kehidupan manusia terikat oleh harta,maka secara otomatis wajiblah baginya bersungguh-sungguh dan jujur dalam mencapainya. Sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Allah swt melalui rasulNya.
Faktor penyebab adanya kepemilikan dalam islam:
1. Tidak Menggantungkan Hidup Kepada Orang Lain.
Yang dimaksudkan dalam hal ini adalah tidak adanya ketergantungan materi dan mengaharap belas kasih orang lain. Karena islam memandang hina mereka yang hanya mengantungkan hidupnya kepada orang lain tanpa mau berusaha untuk memenuhi kehidupannya sendiri. Rasulullah bersabda:
bagimu untuk tidak mengambil apa yang di tangan manusia”.
Dan melarang kita untuk menengadahkan tangan kepada orang lain untuk meminta-mintam.Tergambar dalam ucapannya:
“tangan yang diatas lebih baik dari tangan yang dibawah” si pemberi lebih baik dari peminta.
Diriwayatkan bahwa Lukman a.s berkata kepada anaknya:”wahai anakku jika engkau fakir merasa kekurangan maka minta tolonglah kepada tuhanmu yang maha kuasa. Berdoa dan merendah kepadaNya. Mintalah kepadaNya karunia dan anugerahNya. Maka sesungguhnya tidak ada yang memiliki selain Ia. Dan janganlah engkau meminta kepada manusia. Dengannya kau terlihat rendah dihadapan mereka,sedangkan kau tidak mendapatkan apa-apa”.
Hadist dan nash-nash diatas menanamkan pada umat muslim jiwa yang mulia untuk tidak meminta dari apa yang ada di tangan manusia kecuali dengan cara yang di halalkan oleh islam. Dan mendorong mereka untuk mancari yang halal melalui jalan yang telah digariskan oleh islam.
2. Semangat dan merasa tenang dalam beribadah kepada Allah swt
Ini bisa dilihat dari bagaimana dengannya seorang muslim bisa menjalankan kewajibannya kepada Allah swt. yang membutuhkan kejernihan pikiran. Dan ini tidak akan tercapai kecuali dengan memberikan kepada jiwa apa yang memenuhi kebutuhannya. begitu juga seorang muslim dalam menjalankan kewajiban kepada tuhannya selain kesiapan batin juga memerlukan harta materi. karena diantara kewajiban ada yang dalam pelaksanaannya memerlukan harta. Seperti dalam kewajiban berzakat dan ibadah haji kedua itu tidak diwajibkan kecuali kepada mereka yang mampu. Sudah jelas seorang muslim tidak akan mampu melaksanakannya melainkan dengan bekerja yang bisa menghasilkan materi.
Oleh karena itu Ibnu Taimiah berkata bahwa: “keimanan seorang muslim tidaklah sempurna kecuali ia mampu memenuhi semua kebutuhan hidupnya”. Karena itu maka kekurangan harta materi merupakan kendala besar bagi seorang muslim dalam mencapai derajat iman yang sempurna.
Dari ini bisa disimpulkan bahwa bagi seorang muslim harta tidaklah melainkan sebatas wasilah perantara guna mencapai tujuan-tujuan mulia. Bukanlah seperti apa yang disangka oleh sebagian umat muslim. Bahwa islam adalah pengangguran dan meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi dari harta dan kenikmatan lainnya dengan dalih zuhud,agar lebih tenang dalam beribadah. Lalu kemudian mengasingkan diri dari masyarakat guna mencapai derajat keimanan yang tinggi. Tidaklah seperti itu tetapi islam mendorong dan menganjurkan umatnya untuk slalu berusaha dalam mencari harta guna memenuhi kebutuhan hidupnya dan selanjutnya ia bisa beribadah kepada Allah swt dengan tenang dan penuh kedamaian tanpa terikat oleh siapapun.
3. Menolong sesama
Jika kita cermati kehidupan para sahabat Rasulullah.saw,mereka bersemangat dalam mencari harta guna memenuhi kehidupan dan mengeratkan tali silaturrahmi diantara mereka melalui sodaqoh. Sebagaimana diriwayatkan dari Abdurrahman Bin Auf. Beliau berkata: “dengan harta aku menyambung silaturrahmi dan mendekatkan diri kepada Allah swt”. begitu juga Zubair Ibnu Awam berkata: “sesungguhnya harta adalah darinya sumber kebaikan,silaturrahmi,nafaqah di jalan Allah swt,dan kebaikan akhlaq. Selain itu pula padanya kemuliaan dunia dan kelezatannya”.
1.2.2. JENIS KEPEMILIKAN DALAM ISLAM
Dalam masalah kepemilikan, individu, masyarakat dan Negara sebagai subyek ekonomi mempunyai hak-hak kepemilikan tersendiri yang ditetapkan berdasarkan ketentuan syariah. Konsep kepemilikan menjadi sangat jelas dipaparkan oleh Taqiyuddin an-Nabhani dalam kitabnya sistem ekonomi islam . Dalam kitab ini dijelaskan bahwa Islam membagi konsep kepemilikan menjadi : kepemilikan individu (private property); kepemilikan public (collective property); dan kepemilikan Negara (state property) .
a. Kepemilikan Individu(private property)
Kepemilikan individu adalah hak individu yang diakui syariah dimana dengan hak tersebut seseorang dapat memiliki kekayaan yang bergerak maupun tidak bergerak. Hak ini dilindungi dan dibatasi oleh hukum syariah dan ada kontrol. Selain itu seseorang akhirnya dapat memiliki otoritas untuk mengelola kekayaan yang dimilikinya.Hukum syariah menetapkan pula cara-cara atau sebab-sebab terjadinya kepemilikan pada seseorang, yaitu dengan:
        1) Bekerja
        2) Pewarisan
        3) Kebutuhan akan harta untuk menyambung hidup
        4) Pemberian Negara
        5) Harta yang diperoleh tanpa usaha apapun
Hukum syariah juga membatasi pemanfaatan harta dalam hal: menghambur-hamburkan harta di jalan yang terlarang seperti melakukan aktifitas suap, memberikan riba/bunga, membeli barang dan jasa yang diharamkan seperti miras/pelacuran. Melarang transaksi dengan cara: penipuan, pemalsuan, mencuri timbangan/ ukuran. Dan juga melarang aktifitas yang dapat merugikan orang lain seperti menimbun barang untuk spekulasi. Islam juga menuntunkan prioritas pemanfaatan harta milik individu, bahwa pertama-tama harta harus dimanfaatkan untuk perkara yang wajib seperti untuk member nafkah keluarga, membayar zakat, menunaikan haji, membayar utang dan lain-lain. Berikutnya dimanfaatkan untuk pembelanjaan yang disunahkan seperti sedekah, hadiah. Baru kemudian yang mubah. Aturan Islam juga berbicara tentang bagaimana sesorang akan mengembangkan harta. Antara lain dengan jalan yang sah seperti jual beli, kerja sama usaha (syarikah) yang Islami dalam bidang pertanian, perindustrian maupun perdagangan dan jasa. Dan juga larangan pengembangan harta seperti memungut riba, judi, dan investasi di bidang yang haram seperti membuka rumah bordil, diskotik dan lain-lain.
b. Kepemilikan Publik (collective property)
Kepemilikan publik adalah seluruh kekayaan yang telah ditetapkan kepemilikannya oleh Allah bagi kaum muslim sehingga kekayaan tersebut menjadi milik bersama kaum muslim. Individu-individu dibolehkan mengambil manfaat dari kekayaan tersebut, namun terlarang memilikinya secara pribadi. Ada tiga jenis kepemilikan publik :
1.      Sarana umum yang diperlukan oleh seluruh warga Negara untuk keperluan sehari-hari seperti air, saluran irigasi, hutan, sumber energy, pembangkit listrik dll.
2.      Kekayaan yang aslinya terlarang bagi individu untuk memilikinya seperti jalan umum, laut, sungai, danau, teluk, selat, kanal, lapangan, masjid dll.
3.      Barang tambang (sumber daya alam) yang jumlahnya melimpah, baik berbentuk padat (seperti emas atau besi), cair (seperti minyak bumi), atau gas (seperti gas alam).
Hak pengelolaan kepemilikan umum (milkiyah amah) ada pada masyarakat secara umum yang dalam pelaksanaannya dilakukan oleh Negara karena Negara adalah wakil rakyat. Negara harus mengelola harta milik umum itu secara professional dan efisien. Meskipun Negara memiliki hak untuk mengelola milik umum, ia tidak boleh memberikan hak tersebut kepada individu tertentu. Milik umum harus memberikan manfaat sebesar-besarnya kepada masyarakat luas.
Pemanfaatan kepemilikan umum dilakukan dengan dua cara yaitu: pertama: jika memungkinkan, individu dapat mengelolanya maka individu tersebut hanya diperkenankan sekedar mengambil manfaat barang-barang itu dan bukan memilikinya. Missal memanfaatkan secara langsung milik umum seperti air, jalan umum dll. Kedua, jika tidak mudah bagi individu untuk mengambil manfaat secara langsung seperti gas dan minyak bumi, maka Negara harus memproduksinya sebagai wakil dari masyarakat untuk kemudian hasilnya diberikan secara cuma-cuma kepada seluruh rakyat, atau jika dijual hasilnya dimasukkan ke bait al-mal (kas Negara) untuk kepentingan masyarakat.
c. Kepemilikan Negara (state property)
Milik Negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslim yang pengelolaannya menjadi wewenang khalifah semisal harta fai, kharaj, jizyah dan sebagainya. Sebagai pihak yang memiliki wewenang, ia bisa saja mengkhususkannya kepada sebagian kaum muslim, sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh khalifah ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki khalifah untuk mengelolanya.
Termasuk dalam hal ini adalah padang pasir, gunung, pantai, tanah mati yang tidak dihidupkan secara individual, semua tanah ditempat futuhat yang tidak bertuan yang ditetapkan oleh khalifah/kepala Negara menjadi milik bait al-mal dan setiap bangunan yang dibangun oleh Negara dan dananya berasal dari bait al-mal. Meskipun harta milik umum dan milik Negara pengelolaannya dilakukan Negara, keduanya berbeda. Harta milik umum pada dasarnya tidak boleh diberikan Negara kepada siapapun, meskipun Negara dapat membolehkan orang-orang untuk mengambil manfaatnya. Adapun terhadap milik Negara, khalifah berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakannya.
2. PENGGUNAAN DAN PENDISTRIBUSIAN HARTA
Islam mengatur setiap aspek kehidupan ekonomi penuh dengan pertimbangan moral, sebagaimana firman Allah sebagai berikut:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. “Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”. (QS 28:77)
Dari ayat di atas dapat kita simpulkan, dalam pengunaan harta, manusia tidak boleh mengabaikan kebutuhannya di dunia, namun disis lain juga harus cerdas dalam mengunakan hartanya untuk mencari pahala akhirat.
2.1 Ketentuan syariah berkaitan dengan penggunaan harta, antara lain:
1. Tidak boros dan tidak kikir
“Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap (memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan”.(QS 7:31)
2. Memberikan infak dan shadaqah
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha mengetahui”. (QS 2:261)
3. Membayar zakat sesuai ketentuan
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui”. (QS 9:103)
4. Memberi pinjaman tanpa bunga (qardhul hasan)
“ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan Riba dengan berlipat ganda dan bertakwalah kamu kepada Allah supaya kamu mendapat keberuntungan”.
5. Meringankan kesulitan orang berutang
“Dan jika (orang yang berhutang itu) dalam kesukaran, Maka berilah tangguh sampai Dia berkelapangan. dan menyedekahkan (sebagian atau semua utang) itu, lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui”. (QS 2:280)
2.2. Beberapa Pandangan Alquran tentang Distribusi Harta
Banyak ayat yang secara tersurat menyatakan kata al-mâl, kiranya kita dapat menarik beberapa benang merah yang dapat kita nilai sebagai pandangan Alquran yang harus mendasari segenap aktivitas pendistribusian harta. Pandangan:
Harta adalah Milik Allah (al-mâl mâl Allâh)
Dalam Alquran hanya sekali kata al-mâl yang secara tegas dinisbahkan kepada Allah (mâl Allâh), yaitu dalam Qs. al-Nûr, 24: 33:
“Dan berikanlah kepada mereka sebahagian dari harta Allah yang dikaruniakan-Nya kepada kamu).”
Pandangan bahwa harta adalah milik Allah akan melahirkan sejumlah prinsip yang secara langsung ada kaitannya dengan pemanfaatan kekayaan dan semangat sosialisme. Prinsip-prinsip itu di antaranya:
a)      Benda-benda ekonomi adalah milik Tuhan (dengan sendirinya), yang kemudian dititipkan kepada manusia; kekayaan sebagai amanat (Qs. Al-Anfâl, 8: 28, al-Taghâbun, 64: 15, al-Nisâ, 4: 6).
b)      Penerima amanat harus memperlakukan benda-benda itu sesuai dengan “kemauan” Sang Pemberi amanat (Tuhan), yaitu hendaknya diinfakkan menurut jalan Allah (Qs. Al-Nisâ, 4: 95, al-Anfâl, 8: 72, al-Tawbah, 9: 88, 11, 20, 44).
c)      Harta yang halal itu setiap tahun harus dibersihkan dengan zakat (Qs. Al-Tawbah, 9: 103, al-Lail, 92: 18).
d)     Penerima amanat harta tidak berhak menggunakan (untuk diri sendiri) harta itu semaunya, melainkan harus dengan timbang rasa begitu rupa sehingga tidak menyinggung rasa keadilan umum, tidak kikir dan juga tidak boros, melainkan berada di antara keduanya (Qs. Al-Furqân, 25: 67, al-Isrâ, 17: 28, al-Lail, 92: 18).
e)      Orang miskin mempunyai hak yang pasti dalam harta orang-orang kaya (Qs. Al-Ma’ârij, 70: 24, al-Dzâriyât, 51: 19).
f)       Kejahatan tertinggi terhadap kemanusiaan ialah menumpukkan kekayaan pribadi tanpa memberinya fungsi sosial (Qs. Al-Humazah, 104: 2-3, al-Hasyr, 59: 7, al-Tawbah, 9: 34).
g)      Manusia tidak akan memperoleh kebajikan sebelum mendistribusikan harta yang dicintainya (Qs. Âli ‘Imrân, 3: 92).

2.3.   Perintah dan Anjuran Menyangkut Distribusi Kekayaan
a)      Perintah
Perintah Alquran menyangkut distribusi harta di antaranya adalah mengeluarkan zakat. Firman-Nya dalam Qs. al-Tawbah, 9: 103: “Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka…”
b)      Anjuran
Adapun anjuran Alquran menyangkut distribusi kekayaan, barangkali Qs. al-Baqarah, 2: 261-262 dapat kita jadikan sampel yang mewakili ayat-ayat lain yang mempunyai kandungan makna yang serupa dengannya. Ayat termaksud adalah:
“Perumpamaan orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh butir, pada tiap-tipa butir seratus biji, Allah melipat gandakan bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas lagi Maha Mengetahui (261). Orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah, kemudian mereka tidak mengiringi apa yang dinafkahkannya itu dengan menyebut-nyebut pemberiannya dan dengan tidak menyakiti perasaan si penerima, mereka memperoleh pahala di sisi Tuhannya. Tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati (262). 
2.4. Larangan-larangan Menyangkut Pemanfaatan Harta
Secara umum, larangan-larangan menyangkut penggunaan harta mencakup empat aspek:
a)      Pemilik harta tidak diperkenankan untuk mempergunakan atau menginvestasikannya yang akan mengakibatkan kesulitan, gangguan, dan penganiayaan serta ketidakadilan pihak lain. Misalnya, investasi yang akan membawa pencemaran lingkungan atau meningkatkan peluang kriminalitas (8: 36).
b)      Dalam pemanfataan al-mâl, segala bentuk transaksi dengan pendekatan riba, monopoli, dan penipuan dikecam keras (4: 161; 30: 39; 2: 278-279; 59: 7-8).
c)      Kebijaksanaan pemilik al-mâl harus jauh dari penimbunan atau kekikiran atau pemborosan (9: 34; 25: 67). Kedua cara ini menimbulkan dampak negatif terhadap roda ekonomi. Penimbunan harta mengantar kepada stagnasi yang menghambat lajunya perkembangan ekonomi, sebaliknya pembelanjaan secara semena-mena berarti penghamburan sumber kekayaan yang dapat dinikmati oleh masyarakat.
d)     Larangan penggunaan al-mâl untuk mempengaruhi penguasa guna mencapai keuntungan material (2: 188). Larangan ini mencakup sogok menyogok, kolusi antara pemegang harta dan penguasa yang merugikan masyarakat banyak.
2.5. PEROLEHAN HARTA
       Memperoleh harta adalah aktivitas ekonomi yang masuk dalam kategori ibadah muamalah. Kaidah fiqih dari muamalah adalah semua halal dan boleh dilakukan kecuali yang haram/dilarang dalam Al-Qur’an dan As-Sunah.
“Dialah (Allah) yang menjadikan segala yang ada dibumi untuk kamu…”(Q.S 45:13)
”Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu semua (sebagai rahmat) dari-Nya. Sesungguhnya, dalam hal yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang berfikir.” (QS 45:13)
”Yang halal ialah apa yang dihalalkan oleh Allah di dalam kitabNya, dan apa yang haram ialah apa yang diharamkan Allah di dalam kitabNya; sedangkan apa yang didiamkan oleh Nya berarti dimaafkan (diperkenakan) untukmu.” (HR. At-Tirmidzi dan Ibnu Majab)
Dapat disimpulkan bahwa hukum dasar muamalah adalah boleh, karena tidak mungkin Allah menciptakan segala sesuatu dan menundukkannya bagi manusia kalau akhirnya semua itu diharamkan atau dilarang.
3. AKAD / KONTRAK / TRANSAKSI
3.1. Akad
Akad dari segi ada atau tidaknya kompensasi :
1.      Akad tabarru’ (gratuitous contract), yaitu segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi nir-laba (not for profit transaction). Contoh akad tabarru’ adalah qard, rahn, hiwalah, kafalah, wadi’ah, hibah, waqaf, shadaqah, hadiah.
2.      Akad Tijarah/muawadah (compensational contract) adalah segala macam perjanjian yang menyangkut transaksi untuk laba (for profit transaction). Contoh akad tijarah adalah akad-akad investasi, jual-beli, sewa-menyewa.
3.      Akad yang berfungsi sebagai jaminan atas hutang salah satu dari pihak yang menjalankan suatu akad. Contoh : Pegadaian, Jaminan, dan Kesaksian.
Akad dilihat dari konsekuensinya :
1.      Akad yang mengikat kedua belah pihak
Contoh : akad jual beli, sewa menyewa
2.      Akad yang mengikat salah satu pihak
Contoh : akad pegadaian
3.      Akad yang tidak mengikat kedua belah pihak
Contoh : akad penitipan
3.2. Rukun dan Syarat Akad
Rukun Akad :
1.      Penjual dan Pembeli
2.      Uang dan (atau) barang
3.      Sighah akad jual beli : Sighah qauliyyah dan Sighah fi’liyyah
Syarat sahnya Akad :
1.      Atas dasar suka sama suka antara penjual dan pembeli
2.      Akad jual beli dilakukan oleh orang yang dibenarkan untuk melakukanya. Dengan syarat : Merdeka, Telah Baligh, Berakal Sehat, Rasyid
3.      Yang melakukan jual beli adalah pemilik barang atau wakilnya
4.      Barang yang diperjual belikan kegunaanya halal
5.      Barang yang diperjual belikan dapat diserah terimakan
6.      Barang yang telah diperjual belikan telah diketahui oleh kedua belah pihak diwaktu akad
7.      Harga barang ditentukan dengan jelas diwaktu akad
3.3. Konsep Jual-Beli dalam Islam
Ø  Definisi Jual-Beli
Proses tukar menukar harta, barang maupun sesuatu manfaat/jasa yang halal ditukar dengan sesuatu yang serupa denganya untuk masa waktu yang tidak terbatas, dengan cara yang dibenarkan.
Ø  Hukum Jual-Beli
1.      Sah : apabila terpenuhi syarat dan rukunya
2.      Fasik : apabila tidak terpenuhi salah satu syarat atau rukunya
3.      Bathil : apabila tidak terpenuhi syarat dan rukunya
3.4. KHIYAR
            Diantara kesempurnaan syariat islam dalam hal perniagaan ialah adanya KHIYAR bagi penjual dan pembeli untuk menentukan pilihanya, apakah ia akan melangsungkan akad tersebut atau membatalkanya dan ini adalah hak kedua belah pihak pelaksana akad tersebut, sehingga akad terjalin atas dasar suka sama suka tanpa ada kepaksaan.
Macam-macam KHIYAR :
1.      Khiyar Majelis
2.      Khiyar Persyaratan
3.      Khiyar aib/cacat
4.      Khiyar pemalsuan
5.      Khiyar Penipuan Harga
4. TRANSAKSI YANG DILARANG
Transaksi yang dilarang adalah sebagai berikut:
1.      Semua aktivitas bisnis terkait dengan barang dan jasa yang diharamkan Allah
Aktivitas investasi dan perdagangan atau semua transaksi yang melibatkan barang dan jasa yang diharamkan Allah seperti babi, khamar atau minuman yang memabukkan, narkoba, dan sebagainya.
”Sesungguhnya Allah mengharamkan atasmu bangkai, darah, daging babi, dan (hewan) yang disembelih dengan (menyebut nama) selain Allah, tetapi barang siapa terpaksa (memakannya) bukan karena menginginkannya dan tidak pula melampaui batas, maka Allah sungguh Maha Pengampun, dan Maha Penyayang.” (QS 16: 15)
”Sesungguhnya Allah apabila mengharamkan sesuatu juga mengharamkan harganya.” (HR. Ahmad dan Abu Dawud)
2.      Riba
Larangan riba sebenarnya tidak hanya berlaku untuk agama Islam, melainkan juga diharamkan oleh seluruh agama samawi selain Islam. Yahudi melarang pengambilan bunga (riba). Baik dalam Old Testament (Perjanjian Lama) maupun undand-undang Talmud. Dan dalam kalangan Kristiani dalam Kitab Perjanjian Baru dalam ayat Lukas 6:34-35 merupakan ayat yang mengecam praktik pengambilan bunga (riba).
4 (empat) Tahap Larangan riba :

Tahap 1:  QS 30: 39
            Ayat periode Makkah ini, manusia diberi peringatan bahwa pada hakekatnya riba tidak menambah kebaikan disisi Allah, belum berupa larangan yang keras.
Tahap 2: QS 4:161
            Ayat periode Madinah ini memberikan pelajaran kepada kita mengenai perjalanan hidup orang yahudi yang melanggar larangan Allah berupa riba kemudian diberi siksa yang pedih.
Tahap 3: QS 3: 130
            Walaupun pelarangan masih terbatas pada riba yang berlipat ganda, ayat di atas memberikan pelajaran kepada kita tentang pengharaman riba secara lebih jelas.

Tahap 4: QS 2: 278-280
            Ayat di atas merupakan tahapan terakhir riba yaitu ketetapan yang menyatakan dengan tegas dan jelas bahwa semua praktek riba itu dilarang (haram), tidak peduli pada besar kecilnya tambahan yang diberikan karena Allah hanya membolehkan pengembalian sebesar pokoknya saja.
3.      Penipuan
Penipuan terjadi apabila salah satu pihak tidak mengetahui pihak lain dan dapat terjadi di dalam empat hal, yakni dalam kuantitas, kualitas, harga dan waktu penyerahan.”Dan janganlah kamu campur adukan kebenaran dan kebathilan, dan (janganlah) kamu sembunyikan kebenaran, sedang kamu mengetahui.” (QS 2:42)
4.      Perjudian
Transaksi penjudian adalah teransaksi yang melibatkan dua pihak atau lebih, di mana mereka menyerahkan uang/harta kekayaan lainnya, kemudian mengadakan permainan tertentu, baik dengan kartu, adu ketangkasan, atau media lainnya.”Wahai orang-orang yang beriman, sesunguhnya minuman keras, berjudi, berkorban (untuk berhala) dan mengundi nasib dengan anak panah, adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu beruntung. (QS 5:90)
5.      Gharar/transaksi yang mengandung ketidakpastian
Gharar terjadi terdapat incomplete information, sehingga ada ketidak pastian antara duabelah pihak yang bertransaksi.”Bagaimana pendapatmu jika Allah mencegah biji untuk menjadi buah, sedang salah seorang dari kamu menghalalkan (mengambil) harta saudarannya?” (HR. Bukhari)
6.      Ikhtikar/penimbunan barang
Ikhtikar dilarang karena dapat merugikan orang lain dengan melangkannya/sulit didapat dan harganya yang tinggi. Dengan ikhtikar orang dapat memperoleh keuntungan yang besar dibawah penderitaan orang lain.”Tidak menimbun barang kecuali orang yang berdosa”. (HR. Muslim, Turmudzi dan Abu Dawud)


7.      Monopoli
Alasan larangan monopoli sama dengan larangan penimbunan barang (ihtikar), walaupun seorang monopolis tidak selalu melakukan penimbunan barang. Monopoli biasanya dilakukan dengan membuat entry barrier, untuk menghambat produsen atau penjual masuk ke pasar agar ia menjadi pemain tunggal di pasar dan dapat menghasilkan keuntungan yang tinggi.”Wahai Rasulullah saw, harga-harga naik, tentukanlah harga untuk kami. Rasulullah lalu menjawab: Allah yang sesungguhnya penentu harga, penahan, pembentang dan pemberi rizeki. Aku berharap agar bertemu dengan Allah, tak ada seorangpun yang meminta padaku tentang adanya kezaliman dalam urusan darah dan harta.” (HR. Ashabus sunan)
8.      Bai’an najsy/rekayasa permintaan
An-Najsy termasuk dalam kategori penipuan (tadlis), karena merekayasa permintaan, di mana satu pihak berpura-pura mengajukan penawaran dengan harga yang tinggi, agar calon pembeli tertari dan membeli barang tersebut dengan harga yang tinggi.”Janganlah kamu sekalian melakukan penawaran barang tanpa maksud untuk membeli.” (HR. Tirmidzi)
9.      Suap
Suap dilarang karena suap dapat merusak sistem yang ada dalam masyarakat, sehingga menimbulkan ketidak adilan sosial dan permasalahan perlakuan. Pihak yang membayar suap pasti akan diuntungkan dibandingkan yang tidak membayar.
”... dan janganlah kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim ...” (QS 2:188)
10.  Ta’alluq/penjual bersyarat
Ta’alluq terjadi apabila ada dua akad saling dikaidkan di mana berlakunya akad pertama tergantung pada akad kedua, sehingga dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya rukun (suatu yang harus ada dalam akad) yaitu objek akad.
11.  Bai al inah/pembelian kembali oleh penjual dari pihak pembeli
Misalnya, A menjual secara kredit pada B kemudian A membeli kembali barang yang sama dari B secara tunai. Dari contoh ini, kita lihat ada dua pihak yang seolah-olah melakukan jual beli, namun tujuannya bukan untuk mendapatkan barang melainkan A mengharapkan untuk mendapatkan uang tunai sedangkan B mengharapkan kelebihan pembayaran.
12.  Jual beli dengan cara talaqqi al- rukban
Jual beli dengan cara mencegat atau menjumpai pihak penghasil atau pembawa barang perniagaan dan membelinya, di mana pihak penjual tidak mengetahui harga pasar atas barang yang dibawanya sementara pihak pembeli mengharapkan keuntungan yang berlipat dengan memanfaatkan ketidak tahuan mereka."Janganlah kamu mencegat kafilah/rombongan yang membawa dagangan di jalan, siapa yang melakukan itu dan membeli darinya, maka jika pemilik barang tersebut tiba di pasar (mengetahui harga), ia boleh berkhiar.” (HR. Muslim)
5. RIBA DAN JENIS-JENIS RIBA
Secara garis besar riba dikelompokkan menjadi dua, yaitu
1.      riba hutang-piutang (duyun)
2.      riba jual-beli (buyu’)
1. riba hutang-piutang (duyun)
·         Riba Qardh
Suatu manfaat atau tingkat kelebihan tertentu yang disyaratkan terhadap yang berhutang (muqtaridh).
·         Riba Jahiliyyah
Hutang dibayar lebih dari pokoknya, karena si peminjam tidak mampu membayar hutangnya pada waktu yang ditetapkan
2. riba jual-beli (buyu’)
·         Riba Fadhl
Pertukaran antarbarang sejenis dengan kadar atau takaran yang berbeda, sedangkan barang yang dipertukarkan itu termasuk dalam jenis barang ribawi.
·         Riba Nasi’ahAd
Penangguhan penyerahan atau penerimaan jenis barang ribawi yang dipertukarkan dengan jenis barang ribawi lainnya. Riba dalam nasi’ah muncul karena adanya perbedaan, perubahan, atau tambahan antara yang diserahkan saat ini dengan yang diserahkan kemudian.
6. PRINSIP SISTEM KEUANGAN SYARIAH
            Prinsip-prinsip sistem keunagan Islam sebagaimana diatur melalui Al-Qur’an dan As-Sunah adalah sebagai berikut:
1.      Pelarangan riba. Riba hanya menguntungkan para pemberi pinjaman/pemilik harta, sedangkan yang merugikan peminjam bahkan mempersulit si peminjam.
2.      Pemberian risiko. Hal ini konsekuensi logis dari pelanggaran riba yang menetapkan hasil bagi pemberi modal di muka. Sedang melalui pembagian risiko maka pembagian hasil akan dilakukan di belakang yang besarnya tergantung dari hasil yang diperoleh. Hal ini juga membuat kedua belah pihak akan saling membantu untuk bersama-samamemperoleh laba, selain lebih mencerminkan keadilan.
3.      Tidak menganggap uang sebagai modal pontensial. Sistem keungan Islam memandang uang boleh dianggap sebagai modal kalau digunakan bersamaan dengan sumber daya yang lain untuk memperoleh laba.
4.      Larangan melakukan kegiatan spekulatif. Hal ini sama dengan pelangaran untuk transaksi yang memiliki tingkat ketidak pastian yang sangat tinggi, judi dan transaksi yang memiliki resiko yang sangat besar.
5.      Kesucian kontrak. Islam menilai perjanjian sebagai suatu yang tinggi nilainya sehingga seluruh kewajiban dan pengungkapan yang terkait dengan kontrak harus dilakukan.
6.      Aktivitas usaha harus sesuai syariah. Seluruh kegiatan usaha tersebut haruslah merupakan kegiatan yang diperbolehkan menurut syariah.
            Jadi, prinsip keuangan syariah mengacu kepada prinsip rela sama rela (antaraddim munkum), tidak ada pihak yang menzalimi dan dizalimi (la tazhlimuna wa la tuzhlamun), hasil usaha muncul bersama biaya (al kharaj bi al dhaman), dan untung bersama risiko (al ghunmu bi al ghurni).
7. INSTRUMEN KEUANGAN SYARIAH
Instrumen keuangan syariah dapat dikelompokkan sebagai berikut:
1.      Akad investasi yang merupakan jenis akad tijarah dengan bentuk uncertainty contract. Kelompok akad ini adalah sebagai berikut:
a)      Mudharabah, yaitu bentuk kerja sama antara dua pihak atau lebih, di mana pihak pemilik modal (shahibul maal) mempercayakan sejumlah modal kepada pengelola (mudharib) untuk melakukan kegiatan usaha dengan nisbah bagi hasil atas keuntungan yang diperoleh menurut kesepakatan di muka, sedang apabila terjadi kerugian hanya ditanggung pemilik dana sepanjang tidak ada unsur kesengajaan atau kelalain oleh mudharib.
b)      Musyarakah adalah akad kerja sama yang terjadi antara pemilik modal untuk mengabungkan modal dan melakukan usaha secara bersama dalam suatu kemitraan, dengan nisbah bagi hasil sesuai dengan kesepakatan, sedang kerugian ditanggung secara proporsional sesuai dengan kontribusi modal.
c)      Sukuk (obligasi syariah), merupakan surat utang yang sesuai dengan prinsip syariah.
d)     Saham syariah produknya harus sesuai dengan syariah.

2.      Akad jual beli/sewa menyewa yang merupakan jenis akat tijarah dengan bentuk certainty contract. Kelompok akad ini adalah sebagai berikut:
a)      Murabahah adalah transaksi penjualan barang dengan biaya perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli.
b)      Salam adalah transaksi jual beli di mana barang yang dijual belikan belum ada.
c)      Istishna’ memiliki sistem yang mirip dengan salam, namun dalam istishna’ pembayaran dapat dolakukan di muka cicilan dalam beberapa kali (termin) atau ditangguhkan dalam jangka waktu tertentu.
d)     Ijarah adalah akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapakan manfaat atas objek sewa yang disewakan.

3.      Akad lainnya meliputi:
a)      Sharf adalah perjanjian jual beli suatu valuta dengan valuta lainnya.
b)      Wadiah adalah akad penitipan dari pihak yang mempunyai uang/barang kepada pihak yang menima titipan dengan catatan kapan pun titipan diambil pihak penerima titipan wajib menyerahkan kembali uang/barang titipan tersebut.
c)      Qardhul Hasan adalah pinjaman yang mempersyaratkan adanya imbalan, waktu pengambilan pinjaman ditetapkan bersama antara pemberi dan penerima pinjaman.
d)     Al-Wakalah adalah jangka pemberian kuasa dari satu pihak kepihak yang lain.
e)      Kaflah adalah perjanjian pemberian jaminan atau penanggungan atas pembayaran utang atas suatu pihak atau pihak lain.
f)       Hiwalah adalah pengalian utang atau piutang dari pihak pertama (al-muhil) kepada pihak lain (al-muhal ’alaih) atas dasar saling mempercayai.
g)      Rahn merupakan sebuah perjanjian pinjaman dengan pinjaman aset.



Daftar Pustaka dan Sumber Kajian :
1.      Sri Nurhayati dan Wasilah. Akuntansi Syariah di Indonesia Edisi 2. (Jakarta: Salemba Empat. 2008). hal. 66
2.      Ismail Nawawi. Ekonomi Islam. (Surabaya: CV. Putra Media Nusantara. 2009). hal. 108
3.      Sofian Syafri Harahap. Akuntansi Islam. (Jakarta: Bumi Aksara. 2001), hal. 121
4.      Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Syariah dari Teori ke Praktek. (Jakarta: Gemi Insani. 2001),hal.43-45
5.      Al-Misri, Rafiq Yunus. Usul al-Iqtishad al-Islami. Beirut: Dar al-Qalami, 1999.
6.      An-Nabhani, Taqiyuddin. Sistem Ekonomi Islam. Bogor: al-Azhar Press, 2009.
7.      Ahmad Mushtafa al-Maragha, Tafsir al-Maraghi, Dar al-Fikr: Kairo, tt.
8.      Dr. Alwi Shihab, Islam Inklusif, Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama, Mizan: Bandung, cet. IV 1998.
9.      Syarhul Buyu’ hal. 124
10.  Fatawa Al-Lajnah Ad-Da`imah juz 13 14 dan 15
11.  Hasyiyah As-Sindi ‘ala Sunan An-Nasa`i
12.  As-Sunnah karya Al-Marwazi



1 komentar:

  1. Nama saya Dewi Rumapea, saya dari Indonesia, tolong dengarkan, beberapa pemberi pinjaman di sini tidak bersedia untuk membantu Anda, semua yang mereka inginkan adalah untuk merobek Anda uang Anda sulit diperoleh, hal yang paling penting adalah menerapkan untuk perusahaan yang sah.. Suami saya dan saya, mencari pinjaman dari kreditur yang berbeda online tapi pada akhirnya, kami ditipu dan merobek uang kita tanpa mendapatkan pinjaman kami dari perusahaan-perusahaan pinjaman yang berbeda secara.
    Kami bahkan meminjam uang untuk membayar pemberi pinjaman ini online tapi pada akhirnya, kita punya apa-apa.
    Suami saya dan saya berada di utang, dan kami tidak punya satu untuk lari ke bantuan, bisnis keluarga kami hancur dan kami di mana tidak bisa mendapatkan uang untuk memenuhi biaya sehari-hari sampai kami diperkenalkan kepada Ibu Glory yang membantu kami dengan menawarkan kita jumlah pinjaman tanpa jaminan dari 500 juta tanpa agunan.
    Untuk informasi lebih lanjut tentang bagaimana untuk mencapai Ibu. Glory atau mengikuti prosedur pinjamannya, hubungi saya melalui email saya: dewiputeri9@gmail.com
    Atau Anda dapat mengirim email ke Ibu Glory ke: gloryloanfirm@gmail.com

    BalasHapus